2/16/2011

Studi Kasus TQN (Tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah)


Latar Belakang Masalah

Agama di satu pihak menjadi kekuatan bagi gerakan-gerakan kemanusiaan, keadilan dan perdamaian. Namun di pihak lain, semangat keagamaan dapat menyebabkan dan melegitimasikan perpecahan, bahkan kekerasan (Burhanuddin, 1993: 188).
Sejalan dengan realitas bahwa pada zaman sekarang ini hampir dalam setiap agama terdapat didalamnya perpecahan bahkan kekerasan diantara umatnya baik dalam satu agama yang sama (intra-agama) maupun diantara agama-agama yang berbeda (inter-agama).
Dalam agama Islam, salah satu dari sekian banyak kontroversi didalamnya ialah mengenai dipandanganya istilah bai'at sebagai bid'ah dan sesat dikalangan sebagian umat Muslim. Namun sebaliknya bagi sebagian Muslim yang lain, justru bai'at merupakan sesuatu yang sangat penting bahkan krusial.
Diantara pendapat-pendapat yang menolak untuk membenarkan pengaplikasian bai'at pada zaman sekarang ini ialah karena mereka berpendapat bahwa bai'at hanya untuk diberikan kepada Waliyul Amr-nya umat Muslim saja, yang satu, dan tidak berbilang (banyak). Yakni seperti yang terjadi pada masa Rasulullah atau pada masa kekhalifahan (sahabat). Sedangkan bai'at-bai'at yang ada dalam setiap kelompok pada masa kini dipandang sebagai bai'at-bai'at yang bid'ah (diada-adakan) dan sesat menyesatkan. Dan sebagaimana diketahui bahwa pada zaman sekarang ini terdapat begitu banyak kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi berlabel Islam yang mengaplikasikan pembai'atan (bai'at), maka secara otomatis dari hal itu bai'at yang terjadi pun banyak (berbilang).
Adapun hal-hal lainnya yang memancing atau menyebabkan lahirnya kontroversi terhadap bai'at adalah dikarenakan ada sebagian kelompok yang mengaplikasian bai'at dengan konsekuensi bahwa yang tidak berbai'at kepadanya (pemimpin kelompok tersebut) maka ia dianggap kafir (keluar dari Islam) dan halal darahnya.
Bai'at, dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti pelantikan secara resmi atau pengukuhan atau pengucapan sumpah setia kepada pemimpin (imam, dan sebagainya). Dari pengertian ini berarti dapat diartikan bahwa bai'at-bai'at yang ada pada hampir setiap kelompok atau organisasi sekarang ini tidak lain adalah sebuah bentuk pelantikan atau pengucapan sumpah bahwa ia (yang berbai'at) mengukuhkan diri sebagai salah satu anggota dalam kelompok tersebut dan akan senantiasa mengikuti aturan-aturan didalamnya dan menjadikan pemimpin kelompok tersebut sebagai pimpinan atas dirinya sebagai anggota kelompok.
Maka dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa bai'at merupakan sebuah bentuk pengucapan sumpah atau perjanjian seseorang terhadap seseorang yang lainnya.
Seperti yang terdapat dalam salah satu kelompok atau organisasi dalam Islam yakni organisasi tasawuf yang telah disistematiskan menjadi sebuah kelompok yang dikenal dengan sebutan tarekat. Tarekat, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Nicholson (1963: 28) bahwa kaum sufi (para pengamal tasawuf) dalam rangka mencari Tuhan, menyebut dirinya sebagai salik (pengembara). Dalam pengembaraannya ia secara bertahap dan perlahan mencapai maqamat (tingkatan-tingkatan) dari tingkat manusia biasa sampai dengan tingkat "kewalian" melalui metode, jalan, atau cara-cara yang disebut tarekat. Melalui tarekat seorang sufi dapat mencapai peleburan diri dengan yang nyata atau menurut istilah sufi, fana fil Haq.
Martin Van Bruinessen (1996: 15) juga berpendapat bahwa secara harfiah tarekat berarti "jalan" mengacu pada suatu system latihan meditasi maupun amalan-amalan yang dihubungkan dengan sederet guru sufi. Tarekat juga berarti organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas. Bisa dikatakan bahwa tarekat itu mensistematiskan ajaran dan metode-metode tasawuf.
Dari penjelasan-penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tarekat merupakan bentuk organisasi dalam tasawuf atau organisasi yang mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf.
Sebagaimana pembahasan sebelumnya yakni dalam tarekat dikenal pula istilah bai'at (pembai'atan). Dengan pengertian bahwa bai'at merupakan sebuah bentuk pengucapan sumpah atau perjanjian seorang murid terhadap mursyid (sebutan guru dalam tarekat) dalam rangka mengukuhkan dirinya sebagai anggota dalam tarekat dan akan senantiasa melaksanakan ajaran didalamnya sebagaimana sang mursyid mengarah atau mengajarkan. Bahkan diperkuat mengenai posisi atau kedudukan bai'at dalam tarekat sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Mulyadi bahwa pembai'atan merupakan pintu masuk bagi penganut tarekat, dan pendapat yang dikemukakan Mufid (2006: 192) bahwa seorang pengamal tasawuf barulah sah disebut sebagai murid dari seorang mursyid jika ia telah mengangkat sumpah atau perjanjian yang disebut bai'at.
Dari sini, hal lain yang perlu diketahui dimana hal ini merupakan sisi menarik serta merupakan sebab dipandang perlunya penelitian ini dilaksanakan ialah menurut istilah ulama tasawuf, Ahmad Khatib, bahwa tarekat adalah jalan kepada Allah dengan mengamalkan ilmu tauhid, fiqh, dan tasawuf. Dan Khalli (1990: 10) berpendapat bahwa tarekat merupakan tingkat ajaran pokok dalam tasawuf, sedangkan tasawuf adalah ajaran yang diamalkan oleh para sufi terdahulu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dimana hal mengenai pendekatan diri kepada Allah tersebut sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al-Maa'idah yang berbunyi:
$ygƒr'¯»tƒ
šúïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qà)®?$#
©!$#
(#þqäótGö/$#ur
Ïmøs9Î)
s's#Åuqø9$#
(#rßÎy_ur
Îû
¾Ï&Î#Î6y
öNà6¯=yès9
šcqßsÎ=øÿè?
ÇÌÎÈ

 
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan."
Penjelasan diatas bermaksud menyampaikan bahwa dalam tarekat diajarkan mengenai ilmu tauhid (tentang keesaan Allah), fiqh (ilmu untuk keseharian orang Muslim), tasawuf, serta mengajarkan tentang taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah. Yang dapat diambil kesimpulan dari hal ini bahwa tarekat bukan merupakan kelompok atau organisasi yang didalamnya berisi hal-hal yang menyimpang dari ajaran-ajaran agama Islam atau sesat. Bahkan Qur'an sendiri, sebagai kitab suci agama Islam, mengakui keselarasannya dengan ajaran dalam tarekat sebagaimana ayat Qur'an diatas.
Dari sinilah, dari uraian-uraian diatas, mengapa hal tentang bai'at ini menjadi menarik yakni di satu sisi bai'at dipandang sebagai bid'ah dan sesat akan tetapi disisi lain ia (bai'at) eksis di salah satu kalangan kelompok dalam agama Islam yakni tarekat yang bahkan diperkuat kembali sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra (1999: 34) bahwa organisasi tarekat pernah mempunyai pengaruh yang sangat besar didunia Islam. Sesudah khalifah Abbasiyah runtuh oleh bangsa Mongol tahun 1258 M, tugas memelihara kesatuan Islam dan menyiarkan Islam ke tempat-tempat yang jauh beralih ke tangan kaum sufi, termasuk Indonesia. Serta pendapat yang dikemukakan oleh Mukti Ali (1971: 5) bahwa khusus di Indonesia, pengembangan Islam pada abad ke-16 dan selanjutnya, sebagian besar adalah atas usaha kaum sufi sehingga tidak heran apabila pada waktu itu pemimpin-pemimpin spiritual di Indonesia bukanlah ahli syari'ah melainkan syekh tarekat. Dan pendapat lainnya yang memperkuat positivitas eksistensi tarekat bagi agama Islam ialah sejarawan mengemukakan bahwa karena faktor tasawuf dan tarekatlah islamisasi Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dapat berlangsung dengan damai. Maka dari hal-hal inilah alasan perlunya dipelajari lebih dalam dan diteliti dengan seksama apa yang sebenarnya terjadi dengan bai'at sehingga lahir kontroversi tentangnya.
Adapun dalam penelitian ini, mengingat banyaknya tarekat-tarekat yang ada di dunia, hanya akan ditujukan pada salah satu tarekat terbesar yang ada di Indonesia yakni Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah yang salah satu cabangnya adalah berada di Pesantren Suryalaya yang terletak di kota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Dengan mengambil sebuah judul "STUDI KASUS PENGIKUT TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH DI PESANTREN SURYALAYA".

 

Rumusan Masalah

Sebagaimana uraian-uraian diatas, maka masalah-masalah yang harus dirumuskan pada penelitian ini adalah:
  1. Bagaimana latar belakang historis munculnya praktik bai'at dalam Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah di Pesantren Suryalaya?
  2. Bagaimana bentuk atau ritual serta isi pembai'atan yang diaplikasikan oleh para penganut Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah di Pesantren Suryalaya?
  3. Apakah makna dan tujuan dari praktik pembai'atan yang ada dalam Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah di Pesantren Suryalaya?

 

Tujuan Penelitian

Sebagaimana masalah-masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui:
  1. Latar belakang historis munculnya praktik bai'at dalam Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah di Pesantren Suryalaya?
  2. Bentuk atau ritual serta isi pembai'atan yang diaplikasikan oleh para penganut Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah di Pesantren Suryalaya?
  3. Makna dan tujuan dari praktik pembai'atan yang ada dalam Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah di Pesantren Suryalaya?

 

Kerangka Pemikiran

Agama mendasari sejarah manusia dan merupakan sinar dan nyawa sejarah, dan tanpa agama sejarah apapun menjadi tidak suci (Mukti Ali, 1992: 4-5).
Sejarah agama berusaha untuk mempelajari dan mengumpulkan fakta asasi dari agama, juga berusaha menilai data tarikhi dan mendapatkan gambaran yang jelas yang konsepsi tentang pengamalan keagamaan dapat dihargai dan difahami (Adeng M. Ghazali, 2000: 24). Sejarah agama menetapkan fakta bagaimana suatu bangsa, umat, sekte, dan orang-orang tertentu serta dalam waktu tertentu dipelajari dan difikirkan (Depag, 1985: 71).
Dengan pembahasan sejarah, fakta-fakta pada masa lalu dapat ditemukan dan dijadikan sebagai fakta asasi (dasar) atau fakta asal (sebagai awal mula/asal-usul) untuk selanjutnya dicari nilai-nilai terhadap fakta tersebut dan dengan hal itu akan mampu juga memberikan keterangan yang jelas dan dibuat menjadi sebuah konsepsi sebagai gambaran yang mampu membuat fakta tersebut dihargai eksistensinya dan difahami baik definisi maupun maknanya.
Dan sebagaimana pendapat-pendapat diatas bahwa segala sesuatu yang terjadi pada masa lalu (dalam sejarah) selalu didasari oleh agama, maka karena itu segala yang terjadi pada masa kini yang sifatnya turun-temurun atau secara terus menerus dari generasi ke generasi sejak zaman dahulu baik faham maupun praktik sangat dimungkinkan bahkan diasumsikan pasti, memiliki makna keagamaan.
Selanjutnya, Emile Durkheim menguraikan agama dalam arti yang umum bahwa

No comments:

Post a Comment